Anak Muda Indonesia

Sunday 21 October 2012

Oleh Jefi Efrianti 
 
“Nasib terbaik pertama adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda?” (Soe Hok Gie)

Tak dapat dipungkiri negeri ini dibangun oleh semangat juang kaum muda, patriotisme dan darah muda yang terpatri dalam jiwa anak muda Indonesia adalah suatu simponi nasionalisme yang indah dalam merebut kemerdekaan, mengusir penjajahan, membangun persada ini dengan kritis, semangat kaum muda telah menorehkan sejarah yang tidak hanya patut dibanggakan tetapi lebih dikembangkan dan dipupuk dari dini.

Kita ingat peristiwa Rengas Dengklok dengan  menculik Soekarno agar mau memproklamirkan kemerdekaan Negara ini dimana pertentangan kaum muda dan kaum tua terjadi pada masa kritis dan berada antara bujukan penjajahan Jepang untuk memberi hadiah kemerdekaan pada kita, akan tetapi lihatlah dengan semangat yang bertekad baja dari kaum muda, kita bisa kibarkan sang saka merah putih, bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka, sosok anak muda bernama Budi utomo telah hadir membangun negeri pada tahun 1908, juga  para jong-jong dari berbagai daerah telah tampil memperlihatkan eksistensi keberadaannya dengan menyumpah bersama dalam sumpah pemuda pada tahun 1928, juga pada era 45.

Kebebasan berekspresi ini juga dimanfaatkan oleh sosok Pujangga yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap semangat pemuda melalui diksinya dalam puisi, dan tak ketinggalan juga ikon pemuda yang memberi warna pada pelangi Indonesia dalam sejarah pergolakan mahasiswa menentang rezim totaliter Orde Lama (Orla) pada dekade 1960-an, bangsa Indonesia patut mencatat dan mengenang satu nama. Ia patut dikenang tidak semata-mata karena andil dan keterlibatannya dalam menyukseskan perjuangan mahasiswa menghancurkan otoritarianisme kekuasaan Orla, tetapi lebih dari itu, ia pantas mendapatkan tempat terhormat di hati dan ingatan warga bangsa karena totalitas perjuangan dan sikap hidupnya yang luar biasa dan mengagumkan dalam upaya menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan pada masanya, selebihnya pergerakan mahasiswa penumbang rezim orba juga hadir pada tahun 1998, pada saat Negara ini sedang krisis, dan sekarang tampaknya kita kehilangan ikon Ke-MAHA siswa-an itu, idealisme itu tampaknya kian luntur di cekik demokrasi yang melelahkan otak, yang menindas rakyat.

Tampaknya Soe Hok Gie ingin meyakinkan pemuda Indonesia bahwa sesosok keturunan Tiong hoa (baca; bukan berdarah asli Indonesia) mampu menjiwai nasionalismenya di hamparan pertiwi ini dengan cakrawala pemikirannya yang visioner dengan keteguhan idealismenya menentang syahwat politik Indonesia yang carut marut, hal ini terbukti ketika Pada akhir Desember 1969, karena kecewa dengan penghianatan terhadap prinsip independensi intelektual yang dilakukan teman-temannya, Gie ikut serta dalam “lelucon politik”.

Bersama kawan-kawannya yang masih independen, dia mengirimkan bingkisan “Lebaran-Natal” kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di kursi dewan. Bingkisan itu berisi lipstik, cermin, jarum,dan benang. Bersama dengannya ada juga pesan sindirian. Salah satu bunyi pesan itu adalah:

“bersama surat ini kami kirimkan kepada Anda hadiah kecil kosmetik dan cermin sehingga kalian dapat membuat diri kalian menarik di mata penguasa … bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi Anda, tidurlah dengan nyenyak!”

Perjalanan hidupnya yang cukup singkat mampu menggoreskan sejarah harum namanya yang disebut-sebut sebagai ikon pemuda Indonesia tahun 60-an, hampir sama dengan pujangga Chairil anwar, petualangannya hanya 27 tahun, dan hal ini ditulis oleh John Maxwell dalam karyanya, Soe Hok gie; pergulatan intelektual muda melawan tirani, dialah disebut sebagai pendobrak tirani oral yang beberapa waktu belakangan ini kehidupan soe hok Gie  difilmkan dengan  figure utama Nicholas Saputra yang memerankan Gie sebagai anak muda idealis dan intelektual itu adalah pejuang yang luar biasa dengan hidup yang seperti biasanya manusia, sama seperti kita, mengenal cinta, melakukan hobi, melakukan rutinitas sekolah. Yang membedakannya hanyalah keberaniannya menentang pergolakan politik yang amburadul, menurut John Maxwell Jiwanya selalu memberontak tatkala menyaksikan berbagai praktek dehumanisasi, pengingkaran demokrasi, dan pelecehan terhadap akal sehat. Keberpihakannya pada nilai-nilai prinsipil itu membuatnya tidak mempedulikan siapa pun yang mesti dihadapinya dan risiko apa pun yang bakal menimpanya. Yang ia kehendaki hanyalah “yang lurus-lurus” saja.

 Adik kandung Sosiolog Arief Budiman ini hanyalah mahasiswa yang peduli pada bangsa dan  mencintai kaum lemah, benih penentangannya  terhadap penguasa Orla dan Sikap antinya terhadap ketidakadilan berawal saat ia masih duduk di bangku SMA. Suatu ketika, ia bertemu dengan seseorang, yang jika dilihat dari penampilannya, bukanlah pengemis. Namun, orang itu kelaparan, dan untuk mengobati rasa laparnya, orang itu terpaksa makan kulit mangga. Karena tak tega, Hok Gie akhirnya memberikan seluruh uang yang dimilikinya pada orang itu. Sebenarnya pengalaman itu bukanlah hal yang wah untuk sebuah metropolitan yang ramai hal itu. menjadi luar biasa karena peristiwa itu terjadi tak jauh dari istana kepresidenan, tempat yang menjadi simbol glamour dan kebijaksanaan pada negeri ini. Realitas pahit  itulah semakin mengentalkan rasa muaknya kepada penguasa Orla.

Ketidakpuasannya terhadap berbagai pembatasan kebebasan berbicara yang dilakukan oleh Demokrasi Terpimpin melalui sensor pers dan pelecehan terhadap lawan-lawan politik bung Karno membuatnya semakin gencar melontarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Orla, Gie adalah intelektual non partisan di tengah-tengah perekonomian indonesia yang merosot, pada orba juga Gie mengecam para pemuka Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menurut dia telah berkhianat pada perjuangan mahasiswa. Ia begitu gusar saat menyaksikan sebagian besar tokoh KAMI justru larut dalam kekuasaan. Mabuk kekuasaan di kalangan aktivis ’66, membuatnya menjadi seekor serigala yang gelisah melihat alam persada ini. Secara tajam ia memaki dalam kritikannya, “Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga. Mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.’’ Ia  secara tegas menolak perwakilan mahasiswa yang diangkat sebagai anggota DPR GR karena, menurut dia, peran politik mahasiswa harusnya bersifat situasional, bukan permanen. Akhirnya mereka terpecah menjadi dua kekuatan yang secara diametral saling bertolak belakang yaitu kekuatan moral dan kekuatan politik.
Anak muda Indonesia..!

Persada ini tampaknya bosan dengan segala kemapanan yang tidak mapan, structural yang brutal, juga kewenangan yang cempang prenang, Masa ke masa terus melaju pada titik yang tak menentu, kapitalisme, liberalisme, serta pengaruh westernisasi dunia-dunia super power telah mewarnai tanah air kita, warna peradaban yang dilukis secerah mungkin oleh para pendiri bangsa ini puluhan tahun lalu lambat laun akan tampak pudar warnanya,globalisasi diam-diam merayap kepermukaan menggerogoti yang rapuh dan menelan bulat-bulat budaya timur yang kita bangga-banggakan itu, merobohkan Adat yang bersendikan agama dan kepercayaan, mencoba ingin memudarkan idealisme bangsa, sungguh instrumental yang melenakan kita, anak muda ! kita adalah tiang-tiang yang tegak berdiri untuk menyanggah gubuk pertiwi yang reot ini, kaki tangan kita adalah kepunyaan bangsa ini yang siap diayunkan dan digerakkan dengan titik darah terakhir, artinya perjuangan itu melawan rezim pemerintahan yang menjadi raja zalimnya rakyat.***

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas